Budaya Islam Vs Budaya Arab
Pada dasrnya agama dan tradisi adalah dua dunia yang berbeda, masing-masing
mempunyai independensi. Memang terkadang wilayah tradisi dan agama tumpang
tindih, satu sisi, wilayah agama berasal dari “ normatifitas wahyu “ dan
tradisi berasal dari “buatan manusia”, oleh sebab itu tradisi cenderung berubah
sesuai dengan perkembangan waktu dan perubahan zaman. Nah, hal ini yang
memungkinkan untuk ada asimilasi
perilaku beragama dalam kehidupan sehari – hari yang disesuaikan dengan tradisi
yang berlaku.
Banyak hal yang harus kita pertimbangkan dalam hal memposisikan nash dengan
kebudayaan atau tradisi yang berkembang. Bagaimanapun harus ada rekonsiliasi
antara wahyu Tuhan dengan mempertimbangkan faktor budaya, atau yang sifatnya
kontekstual. Ini yang nantinya diperlukan pribumisasi islam – meminjam istilah
Gus Dur--. Karena, selain berkaitan dengan tata sosial masyarakat budaya juga
banyak yang bersinggungan dengan perilaku beragama, khususnya yang berkenan
dengan fikih.
Banyak penulis yang mengidentikkan kebudayaan dan peradaban islam dengan
kebudayaan dan peradaban Arab. Pendapat itu mungkin dapat dibenarkan meskipun
sebenarnya antara Arab dan Islam tetap bisa dibedakan. Pada masa klasik pusat
pemerintahan hanya satu dan peran Arab di dalamnya sangat dominan. Semua
wilayah kekuasaan Islam menggunakan bahasa bahasa Arab. Semua ungkapan –
ungkapan budaya yang diekspresikan melalui bahasa Arab. Meskipun ketika itu
bangsa- bangsa non Arab juga sudah mulai berpartisipasi dalam membina suatu
kebudayaan & peradaban. apalagi orang – orang non muslim juga banyak
menyumbangkan karya budayanya.
Akhir-akhir ini ada semacam gerakan yang cukup masip dan radikal dengan,
Adanya kecenderungan sejumlah pihak yang
mengedepankan konstruksi syari’at islam dalam wajah Arab sambil menafikan
realitas tradisi yang lain. Padahal islam bukanlah identik dengan Arab
sebagaimana Indonesia bukanlah Arab secara sosiokultural dan politisinya.
Walaupun diakui sebenarnya tidak ada yang salah bila menggunakan kebudayaan
Arab dalam mengekspresikan keberagamaan seseorang, dengan syarat tidak
melahirkan sebuah konflik di tengah masyarakat yang dibingkai dalam pemahaman
konseptual yang kokoh..
Tetapi yang menjadi masaalah adalah manakala penggunaan asumsi bahwa ”warna arab”tersebut
merupakan bentuk keberagamaan tunggal yang dianggap paling absah dan muthlak.
Sehingga hukumnya wajib diterapakan pada semua kondisi dan situasi secara
paten. Hal tersebut tentunya berimbas pada keadaan dimana ekspresi Arab menjadi
dominan, bahkan menghegemoni budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat
lokal. Hal yang lebih menggelisakan lagi adalah munculnya
justifikasi-justifikasi seperti ebelum/tidak
kaffah (sempurna), sesat, bid’ah atau musyrik kepada orang-orang yang
tidak menggunakan ekspresi ”warna arab”
tersebut. Soal penggunaan Jilbab misalnya, sebagaian orang yang berjilbab
memandang bahwa perempuan yang belum menggunakan jilbab atau jilbabnya berbeda
dengan jilbab yang biasa dipakai di Arab, berarti Islamnya belum Kaffah.
Fenomena
tersebut merupakan bagian dari berbagai macam fenomena yang menggambarkan
adanya konflik
dan ketegangan antara hukum Islam dan budaya. Muncul satu hal yang menjadi
persoalan, yaitu apakah budaya yang berkembang dalam masyarakat harus tunduk
dalam ekspresi hukum islam dalam corak Arab seperti di atas?.
Hanya tanda
?????????
Tidak ada komentar:
Posting Komentar