Kamis, 16 Agustus 2012

PRESENTER BAIK (PUTRA NABABAN)

     Wajah pria berkacamata ini beberapa waktu lalu sempat menghebohkan dunia pertelevisian Indonesia. Putra mewawancarai Presiden Barack Obama langsung di Gedung Putih, Amerika Serikat. Berbagai cerita menarik diungkapkan Putra, yang sejak kecil sudah bercita-cita menjadi wartawan.

”Seperti mimpi!” Begitulah perasaanku seusai mewawancarai Presiden Amerika, Barack Obama di Washington DC, Amerika Serikat. Bayangkan saja, aku sampai di sana setelah melewati perjalanan selama 27 jam. Bahkan aku datang sendiri tanpa didampingi kameraman. Tapi, kebetulan aku sudah tahu suasana di Amerika, jadi lebih gampang mengenal tempat-tempat yang akan dijadikan bahan liputan.
Sebenarnya RCTI tidak tiba-tiba ingin mewawancarai Obama. Saat pertama kali Obama muncul, bertepatan dengan dirinya terpilih jadi Presiden, kami sudah memburunya. Namun, tak mungkin kami pesan tiket atau hotel, jika belum ada kata ‘iya’ dari pihak Gedung Putih.
Uniknya, permohonan kami disetujui hanya 3 hari sebelum jadwal wawancara dilakukan. Bayangkan saja, jam 09.00 pagi beli tiket pesawat, jam 14.00 sudah take off .
Beberapa baju dari kantor dan make up aku bawa sendiri. Setibanya di Washington, meski masih jetlag , aku harus meliput yang lain sebelum akhirnya mewawancarai Obama. Oleh Gedung Putih, aku hanya diberi waktu 15 menit untuk wawancara. Meski merasa tak cukup, aku harus memaksimalkan waktu tersebut.
Sebenarnya, sebelum berhadapan dengan Obama, aku sudah melakukan persiapan khusus, terutama fisik. Maklum, Obama bukan narasumber biasa dan bukan orang sembarangan. Tapi, selama liputan di sana aku jadi kurang minum, saking asyiknya mencari berita.
Saat akhirnya masuk Gedung Putih dengan pengawalan ketat, baru terasa ternyata kerongkonganku kering sekali. Tentu saja aku tak bisa langsung minta minum dan beharap mendapat minuman. Untungnya, minuman itu datang sekitar 5 menit sebelum Obama datang. Begitu diberi minum, aku langsung tanya, apakah sudah boleh diminum. Begitu diizinkan, langsung aku minum semuanya, enggak pakai mikir lagi. Padahal, Obama sendiri belum minum. Ha ha ha.
Ketika akhirnya Obama datang, aku kaget karena beliau langsung menepuk pundakku dan menyapa, “Selamat pagi. Apa kabar?” dengan logat yang sangat Indonesia, sama seperti saat aku bercakap-cakap dengan sesama orang Indonesia.




              Last Question

         Dalam waktu 15 menit itu, di menit-menit terakhir aku mencoba memancing Obama dengan pertanyaan seputar makanan khas dari Indonesia. Ternyata Obama bukan hanya suka, tapi juga mengingat benar suara khas tukang sate dan bakso. Ciri khas itu, kan, hanya diketahui orang lokal. Nah, Obama yang pernah tinggal di Jakarta ternyata masih bisa menyebutkan hal-hal itu.
        Awalnya, aku memang agak terganggu dengan kode tangan orang Gedung Putih saat wawancara sudah berlangsung 15 menit. Padahal, masih banyak pertanyaan yang belum kuajukan. Untungnya, waktuku bisa ditoleransi sampai 18 menit.
          Dalam waktu yang mendesak itu, aku tak kehilangan akal. Aku mencoba mengajukan pertanyaan dengan kalimat pendahulu, ”Satu pertanyaan terakhir.” Soalnya, aku tahu Obama pasti punya waktu terbatas.
         Kalau aku enggak bandel, hasil wawancara pasti tidak maksimal. Setelah itu, tak ada lagi tangan-tangan yang memberikan kode. Tapi, setelah itu aku masih mengajukan pertanyaan lagi, ”This is my last question .” Ha ha ha.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar